Rabu, 26 Juni 2013

Filsafat Etika

2.1. NILAI DAN ETIKA
            Nilai adalah standar atau ukuran (norma) yang kita gunakan untuk mengukur segala sesuatu. Pengertian lain adalah bahwa nilai standar menurut tingkah laku dalam menentukan apa yang indah, efisien dan berharga. Nilai itu bersifat abstrak yang memerlukan pemahaman yang lebih mendalam untuk dapat digunakann sebagai tujuan dalam bersikap dan berbuat sehingga nilai berkaitan dengan cara berpikir, cara bersikap, dan cara bertindak. Nilai adalah unsur budaya dan produk budaya sehingga nilai memerlukan pemeliharaan dalam bentuk kekuatan komitmen dari setiap individu dan masyarakat para pendukungnya.
            Kita mengatakan bahwa nilai perbuatan kita sebagian diusahakan dari hubungan dari segala sesuatu yang bersifat eksternal, seperti harta, uang dan pakaian indah. Sebagian lagi memiliki nilai pada milleunnya sendiri dalam diri kita tanpa melihat pertimbangan eksternal. Terdapat tiga nilai yang ada pada diri manusia :
a.      Nilai Kebenaran
Tercermin dalam penilaian yang kita keluarkan tentang benar atau salah, hak atau batil tentang sesuatu, perilaku, ucapan, pikiran atau perbuatan. Dalam ,menjelaskan kebenaran bersandar pada standar yang membatasi kebenaran dan kedustaannya. Akan tetapi standar hakikat itu berbeda-beda sesuai gambaran berikut :
1.     Dalam Logika Formal
Kebanyakan ahli logika menganggap bahwa hukum-hukum berpikir ini sama dengan prinsip-prinsip utama yang mendahului pengalaman. Oleh karena itu ia adalah kebenaran dan kesalahan, kejujuran, atau kedustaan.

2.     Dalam Logika Eksperimental
Dalam hal ini pengalaman menjadi standar bagi kebenaran. Apa yang ditegskan oleh pengalaman adalah benar. Jika sebaliknya berarti salah. Dalam kerangka ini mazhab pragmatisme menetapkan bahwa konsep yang benar terlihat dari produk-produk praktisnya yang berguna dalam dunia pengalaman. Sebaliknya, konsep terrsebut dinyatakan salah, jika tidak berhasil merealisir produk-produk ini.
3.     Dalam Agama-Agama Samawi
Hukum menjadi benar, jika sesuai dengan apa yang disampaikan oleh wahyu dan dikatakan dusta jika menyalahinya.
b.     Nilai Kebaikan
Nilai ini tampak dalam penilaian kita terhadap perilaku manusia dengan standar sifat utama dan tercela, nikmat dan sakit, bermanfaat dan berbahaya atau bahagia dan sengsara. Aristoteles menemukan bahwa manusia mengartikan kebaikan dengan banyak makna. Misal, kebaikan itu adalah kelezatan (kesenangan) nyata yang bebas dari rasa sakit, ada juga yang mengartikan kebaikan dengan memiliki kekayaan dan harta yang banyak, keluarga yang banyak atau memiliki ilmu pengetahuan. Kita tidak boleh menggantungkan kebahagiaan terhadap harta, popularitas, keindahan tubuh, serta hal-hal lain yang tidak mudah kita capai, yakinlah bahwa kita tidak akan pernah menemukan jalan yang pasti untuk mencapainya, bahkan terkadang kita terjatuh dalam kekecewaan karena kita tak mampu mewujudkannya.
Aristoteles menyimpulkan bahwa kebahagiaan kita ada pada apa yang kita pilih dengan kehendak merdeka kita sendiri dan kita dapat mewujudkannya untuk kita, kapan saja kita kehendaki. Kehendak merdeka adalah sesuatu yang selalu baik dan suci, maka yang dipilih hanyalah yang baik dan bagus untuk manusia sebagai makhluk hidup yang berakal, bukan sebagai hewan yang hidup dengan tabiat hewani.


c.      Nilai Keindahan
Nilai diatas tampak pada penilaian–penilaian kita mengeni keindahan terhadap berbagai hal yang indah yang kita jumpai. Dengan demikian kita merasakan keindahan dengan tingkatan- tingkatan yang berbeda-beda pada objek inderawi, sebagaimana kita juga menemukannya pada obyek abstrak. Jadi kita merasakan keindahan dan perasaan pada jenis pengetahuan langsung terhadap indahnya sesuatu yang kita pandang atau ia adalah hubungan langsung antara yang indah dengan manusia yang menikmatinya. Oleh karena itu  sebagian filsuf estetika seperti Al-Ghazali dan Plato, memandang bahwa kenikmatan estetis dari suatu entitas itu dicari karena keindahan millieunya ( keindahan obyektif) dan bukan karena selera yang terkait dengan manfaat pribadi (keindahan subyektif).
Jadi, manusia mencari kebenaran dalam bentuknya yang tertinggi, mencari kebaikan dalam bentuknya yng paling sempurna serta mencari keindahan dalam bentuknya yang paling indah sebagai tujuan-tujuan tertinggi dalam kehidupan mereka dan sebagai  standar-standar untuk menentikan perilaku mereka. Berikut ini merupakn karakter manusia dan eksistensi mutlak :
1.     Kesatuan Tabiat Alami Manusia
Karakter ini ada pada semua orang. Kita melihat bahwa manusia mencari idealisme-idealisme sebagai tujuan tertinggi yang mereka usahakan untuk diwujudkan. Dalam pencarian terhadap hakikat ini mereka melihat ada sebuah keindahan. Jadi kebenarannya  tidak bisa dideskripsikan selain dengan sesuatu yang baik dan indah.
2.     Kesatuan Eksistensi Mutlak
Nilai-nilai tersebut merupakan wujud atau bukti lain atas kesempurnaan. Nilai-nilai  ini mencerminkn sesuatu adanya wujud yang sempurna. Kesempurnaannya berarti bahwa ia adalah wujud mutlak yang tidak akan ada, kecuali Yang satu, Yang benar, Yang baik, Yang Indah pada Dzatnya. Dialah Alloh SWT. Sumber setiap kebenaran, tempat munculnya setiap kebaikan serta sumber dari setap keindahan di alam kosmik ini.
2.2. MANUSIA DAN ETIKA
              nilai-nilai itu merupakan sesuatu yang khusus untuk manusia, dalam kepastiannya sebagai makhluk berakal yang mencari hakikat dalam dirinya dan wujud yang terbentang di sekitarnya. Ia menginginkan kebaikan untuk dirinya, juga untuk orang lain, serta mencari keindahan untuk dinikmati dan untuk mengasah emosi serta perasaannya.
              Jadi perilaku yang seyogyanya ada adalah perilaku kesenangan inderawi sebagai nilai tertinggi (ideal) yang mewujudkan kebahagiaan inderawi manusia. Atas dasar inilah etika itu ditegakkan, karena ia merupakan suatu etika adaptasi terhadap alam dengan kadar (ukuran) yang dapat memelihara kesehatan jasmani dan rohani manusia sebagai syarat bagi kebahagiaan. Kesehatan mental bergantung pada keselamatan dan kesehatan badan. “Jiwa yang sehat terdapat dalam tubuh yang sehat” (men sana in corpore sano). Kebaikan yang paling ideal manusia tidak terletak pada perilaku yang tumbuh dari karakter hewaninya. Namun kebaikan ideal itu ada pada tingkatan yang sesuai dengan kemuliaan manusia sebagai makhluk yang berpikir dan berkehendak yang tidak dibatasi oleh hukum-hukum alam inderawi.
              Kita mengetahui bahwa etika merupakan suatu ungkapan tentang: pertama, salah satu sifat atau keadaan jiwa yang tampak pada perilaku manusia, dimana penilaian kita terhadap manusia tertentu bahwa ia adalah utama atau tidak utama, baik atau tidak baik, sama dengan penilaian kita terhadap diri manusia  dalm jiwanya dengan melihat perbuatan-perbuatannya. Oleh karena itu, tidak cukup bahwa seseorang melakukan perbuatan baik sekali waktu, atau perbuatan tidak baik sekali waktu, lalu kita menilainya bahwa ia mulia atau tidak mulia, baik atau jahat. Karena boleh jadi niatnya pada waktu itu bertentangan dengan perilaku lahirnya. Oleh karena itu, perbuatan etik tidak diukur dengan fenomena-fenomenanya atau produk-produknya, tetapi diukur dengan kondisi (keadaan) jiwa yang baik dan utama.
              Kedua, meskipun etika merupakan salah satu sifat jiwa, namun ia tidak bersifat naluriah, dengan alasan bahwa perbedaan akhlak manusia dalam kebaikan dan keburukan.  Kemudian, sifat etis ini mencapai suatu tempat dalam jiwa seolah ia adalah tabiat orisinil yang ada padanya.
              Ketiga, karena etika (akhlak) merupakan sesuatu yang diusahakan, maka akal memiliki peran besar dalam mengusahakannya bukan karakter hewani kita (yang berperan).              “Akhlak (etika) adalah kebaikan atau kejahatan, dimana jiwa manusia diatribusikan (disifatkan) dengannya, serta terjadi lewat pengusahaan dan kebiasaan, sesuai dengan standar-standar kebaikan yang dibuat oleh manusia untuk dirinya sebagai makhluk yang berakal dan berkehendak merdeka.”
v MAKNA KEBAIKAN DAN KEBURUKAN
              Aristoteles realistis ketika memahami bahwa kebaikan manusia ada pada mencari kebahagiaan (Eudemonia). Kebahagiaan itu akan datang kepada manusia, jika ia hidup dalam keseimbangan. Dalam pengertian seperti ini, Aristoteles diikuti Descartes. Namun Madzhab Hedonisme-Materialistik berjalan pada arah yang berlawanan dengan Madzhab Rasionalisme-Idealis yang dipimpin oleh Kant. Ia memahami kebaikan dengan makna kesenangan inderawi atau manfaat esensial.
              Para filsuf Inggris zaman modern yang menganut teori Persepsi-Etik telah memahami kebaikan manusia sebagai perbuatan yang jatuh dalam sensasi internal, seperti jatuhnya keindahan. Sensasi etik mengetahui keindahan dan keburukan secara langsung yang mereka namakan dengan intuisi sensasi etik. Jadi, kebaikan adalah keindahan utama, sedangkan kejahatan adalah keburukan tercela, sebagaimana persepsi sensasi etik.Yang perlu diingat adalah bahwa konsep kebaikan dan keburukan merupakan bagian yang integral dengan konsep-konsep lain yang dicakup oleh madzhab seorang filsuf tentang pengetahuan dan wujud (being).
v ETIKA PRAKTIS DAN ETIKA TEORITIS
              filsafat etika berbicara moral manusia, makna kebaikan dan kejahatan, serta membahas tentang tujuan-tujuan ideal manusia dalam kapasitasnya sebagai makhluk berakal yang berkehendak bebas. Namun, para filsuf positivisme tidak menerima masuknya pembahasan etika ke dalam tema-tema kajian filsafatmya, karena mereka melihat adalah memungkinkan untuk langsung mengarah pada pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan serta nilai-nilai manusiawi melalui kajian terhadap realitas perilaku dalam masyarakat tanpa melihat filsafat. Dari situ, kita akan melihat bahwa setiap bangsa memiliki etika yang berbeda dengan bangsa lain dalam nilai, tujuan dan pandangannya terhadap karakter manusia, sesuai dengan situasi kehidupan praktisnya. 
              Para filsuf positivisme sangat memperhatikan etika-etika positivistik dalam kehidupan praktis, seperti yang dipraktekkan manusia dalam bentuk kewajiban-kewajiban partikular terbatas. Mengikutinya berarti mendapatkan rasa senang masyarakat dan kebahagiaan individu, sedangkan mengingkarinya berkonsekuensi pada kemarahan dan permusuhan dengan masyarakat dan akan membuatnya sengsara. Kewajiban-kewajiban ini berbentuk perintah dan larangan dengan cara mengerjakan kebaikan dan menjauhi keburukan menurut pengertiannya masing-masing. Misalnya: “kunjungilah tetangga anda” , ”bantulah orang buta dijalan raya” , “ jangan ingkari janji” , “jangan berdusta” , “jangan memulai permusuhan”. Pada saat itu, orang yang mentaatinya menjadi mulia dan yang mengingkarinya menjadi tercela.   
              Menurut mereka, komitmen melaksanakan kewajiban-kewajiban praktis ini terwujud dengan membiasakan perbuatan-perbuatan etik melalui teladan dan tradisi. Etika juga berkembang bersama dengan perkembangan masyarakat, dimana hanya perbuatan-perbuatan etika kuat yang mampu menguatkan kebaikan individu dan sosial yang akan bertahan, sedangkan yang tidak memiliki kemaslahatan akan mengalami kehancuran.
              Beberapa karakteristik etika praktis, antara lain:
a.      Bahwa ia tidak memberi manusia kemampuan untuk maju dengan kaidah-kaidah praktis ke arah suatu prinsip umum yang dapat diterapkan di setiap tempat dan waktu dengan tidak melihat kemaslahatan-kemaslahatan pribadi dan sosial serta perbedaan-perbedaan kultural dalam masyarakat.
b.     Ia memerlukan suatu pemikiran teoritis yang memungkinkan seorang individu untuk mengenal hakikat kebaikan tentang apa yang ia kerjakan dan perbuatan-perbuatan yang akan ia lakukan, juga membantunya untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan secara tepat, memilih perbuatan-perbuatannya secara rasional, sehingga kebaikan atau keburukan yang di lakukannya tidak semata-mata karena kebiasaan atau tradisi.
c.      Manakala etika-etika praktis tidak didasarkan pasa suatu kaidah teoritis dan hanya di dasarkan pada kewajiban-kewajiban partikular yang di batasi oleh perintah dan larangan tanpa fleksibilitas, maka ia tidak memiliki cakupan yang luas, melainkan terbatas pada kondisi-kondisi partikular menjadi tipikalitasnya dan tidak mampu melampauinya.
d.     Ia memiliki sifat subyektif manusia berbeda-beda dalam menerapkan kewajiban-kewajiban praktis dan dalam menafsirkan sisi etis dari kewajiban-kewajiban praktis tadi. Subyektivitas ini membuat etika-etika praktis memerlukan satu prinsip rasional umum yang menyatukan pengertian-pengertian manusia sekitar kebaikan dan keburukan.
e.      Ia menggabungkan setiap kewajiban praktis dengan kewajiban partikular tertentu, atau manfaat yang terbatas bagi individu dan masyarakat tertentu.
2.3. SUMBER – SUMBER PENGETAHUAN TENTANG KEBAIKAN
v ALIRAN IDEALISME
Tercermin dalam 2 madzhab, yaitu:
1.     Madzhab Intuisionisme.
            Para filsuf berpendapat bahwa di dalam akal manusia terdapat sebagian hakikat rasional yang memiliki sifat sederhana dan jelas, serta tidak membutuhkan sesuatu  untuk menjelaskannya. Hakikat tersebut merupakan dasar rasional yang paling sederhana bagi setiap pengetahuan rasional yang menjadi tujuan manusia sekaligus menjadi dasar argumentasi atas kebenaran pemikiran yang dicapai dengan argumentasi rasional. Intuisi dalam madzhab ini merupakan suatu pengetahuan rasional  dan langsung terhadap kebaikan yang sangat jelas, atau prinsip etik sebagai prinsip umum yang jelas atau prinsip etik sebagai prinsip umum yang jelas dan tidak menerima perdebatan. 
2.     Madzhab Rasionalisme.
            Madzhab ini menilai pengetahuan manusia melalui cara deduksi rasional dengan mengambil premis- premis utama yang mendahului pengalaman. Oleh karena itu, madzhab ini tidak sampai pada pengetahuan tentang kebaikan dalam lapangan etika melalui intuisi rasional. Ada beberapa pendapat para filsuf, seperti:


a.      Sokrates
            Nilai kebaikan manusia kembali pada akal. Karena akal sebagai satu- satunya sumber pengetahuan yang benar tentang tabiat kebaikan manusia. Keterkaitan antara pengetahuan dengan kebaikan tampak jelas dalam ungkapan Sokrates: “Keutamaan adalah ilmu, dan ketercelaan adalah kebodohan”.  Dengan pengertian bahwa ketercelaan tidak tumbuh, kecuali karena tidak mengerti arti keutamaan. Kebahagiaan manusia yang merupakan kebaikan tertingginya didasarkan pada ketidakmengetiannya tentang hakikat.
b.     Plato
            Kebaikan hakiki berdasarkan pada bentuk ideal yang berdiri sendiri, yaitu dunia idea. Idea kebaikan melampaui semua ide- ide. Karena ia adalah kebaikan absolut yang dicari setiap jiwa manusia dalam kehidupannya. Akal merupakan sumber yang memperkenalkan kita pada kebaikan yang terdapat pada alam eksistensi dan diri kita. Jiwa utama memiliki 4 karakteristik utama yang diakui dengan memanfaatkan akal sebagai berikut:
Ø  Keutamaan hikmah merupakan sifat kekuatan intelektual dalam jiwa.
Ø  Kekuatan keberanian, merupakan sifat kekuatan marah dalam jiwa.
Ø  Keutamaan kebajikan, merupakan sifat kekuatan nafsu dalam jiwa.
Ø  Keutamaan keadilan, merupakan sifat jiwa sebagai totalitas. Ia tumbuh karena akal melakukan harmonisasi antara ketiga kekuatan ini. Dengan memiliki keseimbangan moral internal, manusia pun menjadi adil terhadap dirinya.
c.      Aristoteles
            Beliau membangun sebuah sumber untuk mengetahui dan memilih perbuatan utama. Akal memiliki keutamaan teoritis, yaitu hikmah. Tetapi ia baru menjadi hikmh yang bersifat praktis ketika kehendak memilih perbuatan utama sebagai perilaku praktis. Tujuan dari keutamaan adalah mewujudkan kebahagiaan spiritual bagi manusia utama.
d.     Descartes
            Dengan berpikir deduktif kita bisa membedakan antara keutamaan hakiki dan keutamaan fenomenal. Keutamaan hakiki lahir dari pengetahuan hakiki terhadap kebaikan. Sedangkan keutamaan fenomenal adalah akibat dari ketidaktahuan terhadapnya.
Descartes membatasi prinsip- prinsip etikanya sebagai berikut:
Ø  Akal dan kehendak adalah sumber perilaku utama.
Ø  Akal mengenal kebenaran secara hakiki, kehendak memilih perbuatan yang baik.
Ø  Kebaikan tertinggi tercermin pada kepuasan dan ketenangan jiwa.Nilai perilaku etika (moral) intern dalam dirinya dan tidak bersumber luar.
e.      Immanuel Kant
            Manusia tersusun dari 2 karakter, yakni inderawi dan rasional. Dengan karakter inderawi, manusia di alam semesta sama dengan benda- benda lain yang tunduk pada hukum alam, karena ia berafiliasi kepada alam lain, yaitu hakikat yang disebutnya “Alam segala sesuatu pada zatnya”.
v ALIRAN EMPIRISME
·       Shopisme
·       Hedonisme
·       Epicurisme
·       Thomas Hobbes
·       Madzhab Hedonisme menurut Bentham dan Mills
·       Kaum Positivisme dan Evolusionisme
v ORIENTASI RELIGIUS DALAM ISLAM
a.      Orientasi naqli (scriptural)
            Kelompok Abi Al- Jannah wal Jama’ah berpendapat bahwa syara’ menjelaskan kepada kita yang baik dan yang buruk. Lalu memerintahkan kita untuk mengerjakan yang pertama dan melarang kita untuk melakukan yang kedua.
b.     Orientasi aqli
            Ini tercermin di kalangan Mu’tazilah dari kelompok Muta’allimin. Mereka berbeda pendapat dengan ahli kalam di kalangan salafi mengenai cara pengetahuan terhadap kebaikan dan keburukan serta taklif untuk mengerjakan yang pertama dan menjauhi yang kedua.

c.      Para filsuf Islam
            Kecenderungan para filsuf Islam yang tercermin pada orientasi etika, seperti juga tercermin pada orientasi- orientasi lain.
Al Ghazali dan Etika: “Karakter/ sifat manusia tersusun dari 2 hal, yaitu jasad dan jiwa. Jasad adalah gambaran material fenomenal, sedangkan jiwa merupakan gambaran abstrak batiniyah”. Dalam mengetahui kebenaran dan kebaikan manusia, ilmu kebenaran memiliki beberapa tingkatan, yaitu:
Ø  Kebanyakan manusia mengenal kebaikan dan keburukan melalui kitab suci dan mengikuti orang lain.
Ø  Orang- orang khusus/ para filsuf rasionalis pada umumnya mengenal kebenaran tanpa melihat pada kitab suci ataupun ikut- ikutan.
Ø  Orang yang paling khusus ( dan ini sedikit sekali), mengenal kebenaran ketika berada dekat dengan Allah, dimana ia menganugerahkan ilmu ladunni ke dalam hati seorang Mukmin yang mengenal Allah, maka terjadilah perbuatan baik dari anggota tubuh secara otomatis dengan menyerupai perbuatan para Nabi dan Rasul.
            Al Ghazali telah menghubungkan antara pengetahuan dengan pola perilaku dalam akhlak manusia, dimana pengetahuan kita tentang kebaikan saja tidak cukup, sebelum yang bersangkutan mengerjakannya. Ilmu dalam amal secara bersama- sama harus selaras dengan syara’. Etika sesungguhnya berdiri di atas dasar pengontrolan nafsu dengan hukum akal, sehingga hati berada dalam keadaan seimbang. Kaidah penyelarasan ini adalah “ Bekerjalah untuk duniamu seakan engkau hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan engkau akan mati esok hari”.
Al- Ghazali mendasarkan madzhab etikanya di atas dasar- dasar berikut:
Ø  Bahwa tujuan perbuatan etika adalah mewujudkan kebahagiaan spiritual di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, ia mengambil nilai perbuatan etik itu dari tujuan ini.
Ø  Perbuatan etik muncul dari keseimbangan antara inderawi dan yang rasional.
Ø  Akhlak tumbuh dari hati dan ia adalah kondisi yang mengakar di dalam jiwa dan perilaku etik merupakan ekspresi dari akhlak ini.
Ø  Dengan ilmu saja, manusia tidak dapat berbuat keutamaan, namun juga harus dibarengi dengan kehendak dan aktivitas. Ilmu itu memiliki tingkatan- tingkatan yang berbeda akibat perbedaan tingkatan manusia. Ilmu yang paling tinggi adalah ilmu yang muncul dari wahyu langit atau ilmu ladunni pada keadaan dekat dengan Allah.  
2.4. STANDAR – STANDAR KEBAIKAN
            Nilai - nilai manusiawi yang berusaha untuk direalisasikan oleh manusia dalam perbuatan- perbuatannya  yaitu nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan.  Kita dalam menilai bahwa perbuatan ini baik atau buruk dalam perspektif tiga madzhab yang berbeda, yakni madzhab kebahagiaan (Eudemonia), kesemprnaan (Perfeksionisme), dan kewajiban (Deontologi).
1.     MADZHAB KEBAHAGIAAN (EUDEMONIA)
Kebahagiaan dianggap sebagai tujuan tertinggi bagi setiap perilaku etik, dengan pengertian bahwa perilaku dapat menjadi baik, jika tujuan ini tidak terwujud sehingga manusia berada dalam pada penderitaan. Standar kebahagiaan  menurut penganut hedonism (kyrene) baik klasik maupun modern berhubungan dengan kesenangan inderawi, atau keuntungan subyektif. Sepanjang perilaku itu mendatangkan kesenangan inderawi, maka perilaku tersebut dianggap baik. Sebaliknya jika ia mendatangkan penderitaan inderawi , maka perilaku tersebut dianggap buruk.
Jika John S.Mills yang termasuk salah satu pemikir kelompok moralis- empiris memenangkan kebahagiaan rasioanal, maka yang lebih utama melakukannya adalah para kaum moralis rasionalis. Mereka berpendapat bahwa standar kebaikan atau keburukan perilaku adalah standar rasional yang dibuat oleh akal manusiawi dan merupakan standar consensus diantara manusia yang berperilaku sesuai dengan tuntutan norma-norma yang seragam. Oleh karena itu, standar kebahagiaan rasional dicirikan dengan sifat obyektif dan universal. Karena tidak ada perbedaan diantara manusia mengenai hal itu. Seperti yang kita lihat pada filsuf- filsuf semisal sokrates, plato  dan aristoteles. Sokrates telah mengubungkan antara pengetahuan mental dengan satndar kebahagiaan. Sehingga tidak mungkin kebodohan berjalan seiring dengan kebahagiaan spiritual. Sokrates menghubungkan antara kemuliaan dengan ilmu pada orang yang bahagia, dan antara ketercelaan dengan kebodohan pada orang yang sengsara. Adapun plato membangun idea kebahagiaan yaitu idea kebenaran dan keindahan pada saat yang sama sebagai suatu standar yang terpisah, atau tegasnya berdiri sendiri didunia idea. Perbuatan dinilai baik sepanjang ia sejalan dengan apa yang baik dalam dunia idea.
2.     MADZHAB KESEMPURNAAN (PERFEKSIONISME)
Madzhab etika ini dikenal dengan perspektif teori evolusi sosial dikalangan penganut teori perkembangan dan kemajuan dalam masyarakat manusia, sebagaimana yang terjadi pada berbagai spesies hewan sepanjang proses evolusinya sesuai dengan hukum seleksi alam, yaitu hukum yang menyatakan bahwa yang pantas untuk bertahan hidup hanyalah jenis hewan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan, sukses dalam menghadapi pertentangan yang terus menerus diantara mereka. Serta mampu menanggung pengaruh-pengaruh alam. Untuk merealisasikan proses adaptasi yang terus menerus terhadap situasi-situasi yang melingkupinya dan mengatur karakter perilakunya hewan – hewan itu mengambil aturan yang bertujuan kearah kesempurnaan fungsi- fungsi vital dan gaya adaptasinya.
Herbert spencer telah meminta bantuan teori evolusi sesuai dengan hukum seleksi alam dalam manfsirkan perkembangan sosial dan etika dalam masyarakat manusia. Ia berpendapat bahwa pengalaman memperlihatkan dengan perilakunya, manusia berusaha untuk merealisasikan kesenangan inderawinya sebagai ungkapan perasaan terhadap egoisme dan sebagai wujud adaptasi terhadap lingkungan. standarnya adalah pencapaian kesenangan inderawi dan perasaan terhadap kebahagiaan, sedangkan rasa sakit dan sengsara menunjukan buruknya adaptasi. Spancer mengharapkan masyarakat manusia berkembang ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu kesempurnaan. Dengan sampainya masyarakat pada perkembangan dan kemajuan dalam tingkatan kesempurnaan moral ini, akan muncul apa yang disebut masyarakat kota utama, dimana semua orang hidup didalamnya dengan kesenangan abadi.
Para penyeru psikologi eksperimentalis melihat bahwa standar kebaikan dalam perilaku moral manusia adalah integrasi personal yakni pertumbuhan beragam kemampuan secara berimbang yang mewujudkan perasaan bahagia untuknya, sedangkan ketidaksempurnaan kemampuan – kemampuan ini akan mengakibatkan terjadinya pertarungan psikis yang menciptakan perasaan menderita dan sengsara pada individu. Oleh karena itu, perilaku baik dan buruk adalah manifestasi perasaan bahagia dalam personalitas yang sempurna atau peraaan menderita didalam personalitas yang tidak sempurna.
3.     MADZHAB KEWAJIBAN (DEONTOLOGI)
Kant melihat bahwa perbuatan moral membawa nilainya di dalam milieunya. Ia muncul dari kehendak baik yang merupakan realisasi kewajiban dalam dirinya, serta bukan untuk tujuan apapun. Untuk  itu standar perilaku yang baik menjadi sejauh mana kesamaannya terhadap prinsip kewajiban karena kewajiban. Standar ini dibedakan dengan sifat – sifat sebagai berikut :
a.      Universal : adalah undang undang yang berlaku umum bagi siapapun tanpa terkecuali
b.     Obyektif : karena menjadikan kemanusiaan sebagai obyek satu satunya bagi semua akal manusia
c.      Abstrak :  prinsip rasional  yang dibuat oleh akal manusia yang menghadirkan sebuah norma dikalangan manusia seluruhnya.
Standar kebaikan dan keburukan perbuatan – perbuatan moral secara logis terkait dengan sumber pengetahuan kebaikan dan keburukan . jika standarnya adalah akal maka ia bersifat rasional dan jika standarnya adalah sensasi serta pengalaman maka ia bersifat sensasional eksperimental. Ini berarti madzhab etika menurut kalangan filsuf merupakan satu kesatuan integral dengan teori teori tentang pengetahuan (epistemology) dan wujud (ontology).
2.5.SUMBER – SUMBER KEKUATAN MORAL
Sumber sumber moral terbagi kepada sumber sumber internal (yang terdapat dalam diri manusia) dan eksternal ( yang terdapat di luar dirinya) di antara sumber sumber internal yang memaksa manusia untuk melakukan kebaikan atau keburukan adalah hati dalam kapasitasnya sebagai kekuatan rasio dan emosional. Di antara sumber sumber eksternal adalah masyarakat dengan segala adat, tradisi, hukum kekuasaan politik, agama yang ada di dalamnya.
1. Hati memiliki fungsi sebagai berikut :
·       Menilai benar salahnya suatu perilaku sehingga perilaku itu di katakan baik atau buruk
·       Mengarahkan perilaku kita ke depan sehingga kita memperoleh kesenangan hati dan menghindari kebencian
Fungsi fungsi karakter hati tersusun dari hal hal berikut :
a.      Sisi Intelegensia
Hati dapat membedakan apa yang baik dan apa yang buruk. Kaum Intuisionisme berpendapat bahwa kesadaran ini tidak lain kecuali kesadaran intelektual yang langsung terhadap makna kebaikan dan keburukan yang tampak jelas pada perbuatan - perbuatan manusia. Pendapat ini menyatakan bahwa hati merupakan suatu kekuatan primordial yang mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan. Kaum Positivisme dan empirisme berpendapat bahwa sisi ini dapat di lihat dari pembuktian makna kebaikan dan keburukan.
b.     Sisi Emosional
hati bukanlah sekedar kekuatan yang menyadari kebaikan dan keburukan serta membedakan keduanya sesungguhnya merupakan suatu kekuatan di daktik karena balasan yang diharapkan serta mengawasi perbuatan perbuatan manusia dari dalam untuk mengetahui niatnya sebelum berbuat.
c.      Sisi Sosial
Sisi ini di anggap sebagai cermin sosial yang merefleksikan konsep konsep kebaikan dan keburukan keutamaan dan ketercelaan kebahagian dan kesengseraan dalam masyarakat di mana individu hidup. Jadi fungsi hati terbatas sebagai sumber bagi tekanan moral bertitik tolak dari sisi intelek hukum - hukum moral (etika) dengan karakter primordial yang ada padanya. Individu  bertanggung jawab di hadapan hati dalam kapasitas sebagai hakim yang menentukan tingkat tanggung jawab ini dalam 3 dasar :
- Kemampuan untuk mempersepsi kebaikan dan keburukan
- Terpenuhnya kebebasan kehendak dalam memilih perbuatan
- Kemampuan dalam melakuka pekerjaan
2. Masyarakat.
Kaum Sosiologi melihat bahwa hukum hukum moral ( etika ) telah di ciptakan oleh masyarakat dengan mengambil inspirasi pengalaman histiris dan realitas sosiologisnya. Ketika masyarakat menciptakan norma norma - moral ia menjadikan keuntungan individu dan kemaslahatan kolektif sebagai tujuan etik tertinggi atau sebagai kebaikan ideal yang setiap individu berusaha untuk mewujudkan. Dalam pandangan masyarakat tanggung jawab individu tertentu pada dasar dasar sebagai berikut :
-       Hasil hasil dari segi ia bermanfaat atau berbahaya
-       Terpenuhnya persepsi sehat tentang suatu entitas , apakah ia baik atau buruk.
-       Terpenuhnya kadar kebebasan untuk berbuat dalam batas batas konsepsi kebaikan dan kebaikan.
3.Agama.
 Keagamaan merupakan sumber tekanan terhadap perilaku moral yaitu tekanan yang mengambil kekuatan dari balasan balasan yang terbatas bagi perbuatan baik atau buruk , di mana pelaku kebaikan mendapatkan balasanya berupa kebahagian di dunia dan di akhirat dan pelaku kejahatan mendapat balasan siksa di dunia dan di akhirat. Penekanan etika yang muncul dari agama di dasarkan pada dasar dasar sebagai berikut:
-       Terpenuhnya niat dengan anggapan bahwa ia merupakan asas utama yang menentukan baik buruknya suatu perilak.
-       Persepsi ( pikiran ) yang sehat sehingga karena itu agama melarang untuk merusaknya dengan mengkonsumsi minuman keras dan obat terlarang yang dapat mengakibatkan pelakunya berbuat di luar kesadaranya dan perbuatanya tidak dapat di tanggung jawabkan.
-       Ukuran kebebasan dalam memilih dan melakukan perbuatan tersebut sesuai dengan niat dan ukuran persepsi di atas
Ketiga dasar di atas merupakan pilar pilar tanggung jawab moral ( etika ) dalam lingkup agama. Filsafat etika merupakan bentuk sempurna yang menghubungkan antara teori pengetahuan ( epistemologi) teori wujud (ontologi ) dan teori kebaikan.