2.1.
NILAI DAN ETIKA
Nilai adalah standar atau ukuran (norma) yang kita
gunakan untuk mengukur segala sesuatu. Pengertian lain adalah bahwa nilai
standar menurut tingkah laku dalam menentukan apa yang indah, efisien dan
berharga. Nilai itu bersifat abstrak yang memerlukan pemahaman yang lebih
mendalam untuk dapat digunakann sebagai tujuan dalam bersikap dan berbuat
sehingga nilai berkaitan dengan cara berpikir, cara bersikap, dan cara
bertindak. Nilai adalah unsur budaya dan produk budaya sehingga nilai
memerlukan pemeliharaan dalam bentuk kekuatan komitmen dari setiap individu dan
masyarakat para pendukungnya.
Kita mengatakan bahwa nilai perbuatan kita sebagian
diusahakan dari hubungan dari segala sesuatu yang bersifat eksternal, seperti
harta, uang dan pakaian indah. Sebagian lagi memiliki nilai pada milleunnya
sendiri dalam diri kita tanpa melihat pertimbangan eksternal. Terdapat tiga
nilai yang ada pada diri manusia :
a.
Nilai Kebenaran
Tercermin
dalam penilaian yang kita keluarkan tentang benar atau salah, hak atau batil
tentang sesuatu, perilaku, ucapan, pikiran atau perbuatan. Dalam ,menjelaskan
kebenaran bersandar pada standar yang membatasi kebenaran dan kedustaannya.
Akan tetapi standar hakikat itu berbeda-beda sesuai gambaran berikut :
1.
Dalam Logika Formal
Kebanyakan
ahli logika menganggap bahwa hukum-hukum berpikir ini sama dengan
prinsip-prinsip utama yang mendahului pengalaman. Oleh karena itu ia adalah
kebenaran dan kesalahan, kejujuran, atau kedustaan.
2.
Dalam Logika Eksperimental
Dalam
hal ini pengalaman menjadi standar bagi kebenaran. Apa yang ditegskan oleh
pengalaman adalah benar. Jika sebaliknya berarti salah. Dalam kerangka ini
mazhab pragmatisme menetapkan bahwa konsep yang benar terlihat dari
produk-produk praktisnya yang berguna dalam dunia pengalaman. Sebaliknya,
konsep terrsebut dinyatakan salah, jika tidak berhasil merealisir produk-produk
ini.
3.
Dalam Agama-Agama Samawi
Hukum
menjadi benar, jika sesuai dengan apa yang disampaikan oleh wahyu dan dikatakan
dusta jika menyalahinya.
b.
Nilai Kebaikan
Nilai
ini tampak dalam penilaian kita terhadap perilaku manusia dengan standar sifat
utama dan tercela, nikmat dan sakit, bermanfaat dan berbahaya atau bahagia dan
sengsara. Aristoteles menemukan bahwa manusia mengartikan kebaikan dengan
banyak makna. Misal, kebaikan itu adalah kelezatan (kesenangan) nyata yang
bebas dari rasa sakit, ada juga yang mengartikan kebaikan dengan memiliki
kekayaan dan harta yang banyak, keluarga yang banyak atau memiliki ilmu
pengetahuan. Kita tidak boleh menggantungkan kebahagiaan terhadap harta,
popularitas, keindahan tubuh, serta hal-hal lain yang tidak mudah kita capai,
yakinlah bahwa kita tidak akan pernah menemukan jalan yang pasti untuk
mencapainya, bahkan terkadang kita terjatuh dalam kekecewaan karena kita tak
mampu mewujudkannya.
Aristoteles
menyimpulkan bahwa kebahagiaan kita ada pada apa yang kita pilih dengan
kehendak merdeka kita sendiri dan kita dapat mewujudkannya untuk kita, kapan
saja kita kehendaki. Kehendak merdeka adalah sesuatu yang selalu baik dan suci,
maka yang dipilih hanyalah yang baik dan bagus untuk manusia sebagai makhluk
hidup yang berakal, bukan sebagai hewan yang hidup dengan tabiat hewani.
c.
Nilai Keindahan
Nilai
diatas tampak pada penilaian–penilaian kita mengeni keindahan terhadap berbagai
hal yang indah yang kita jumpai. Dengan demikian kita merasakan keindahan
dengan tingkatan- tingkatan yang berbeda-beda pada objek inderawi, sebagaimana
kita juga menemukannya pada obyek abstrak. Jadi kita merasakan keindahan dan
perasaan pada jenis pengetahuan langsung terhadap indahnya sesuatu yang kita
pandang atau ia adalah hubungan langsung antara yang indah dengan manusia yang
menikmatinya. Oleh karena itu sebagian
filsuf estetika seperti Al-Ghazali dan Plato, memandang bahwa kenikmatan
estetis dari suatu entitas itu dicari karena keindahan millieunya ( keindahan
obyektif) dan bukan karena selera yang terkait dengan manfaat pribadi
(keindahan subyektif).
Jadi,
manusia mencari kebenaran dalam bentuknya yang tertinggi, mencari kebaikan
dalam bentuknya yng paling sempurna serta mencari keindahan dalam bentuknya
yang paling indah sebagai tujuan-tujuan tertinggi dalam kehidupan mereka dan
sebagai standar-standar untuk menentikan
perilaku mereka. Berikut ini merupakn karakter manusia dan eksistensi mutlak :
1. Kesatuan
Tabiat Alami Manusia
Karakter ini ada pada
semua orang. Kita melihat bahwa manusia mencari idealisme-idealisme sebagai
tujuan tertinggi yang mereka usahakan untuk diwujudkan. Dalam pencarian
terhadap hakikat ini mereka melihat ada sebuah keindahan. Jadi
kebenarannya tidak bisa dideskripsikan
selain dengan sesuatu yang baik dan indah.
2. Kesatuan
Eksistensi Mutlak
Nilai-nilai
tersebut merupakan wujud atau bukti lain atas kesempurnaan. Nilai-nilai ini mencerminkn sesuatu adanya wujud yang
sempurna. Kesempurnaannya berarti bahwa ia adalah wujud mutlak yang tidak akan
ada, kecuali Yang satu, Yang benar, Yang baik, Yang Indah pada Dzatnya. Dialah
Alloh SWT. Sumber setiap kebenaran, tempat munculnya setiap kebaikan serta
sumber dari setap keindahan di alam kosmik ini.
2.2. MANUSIA DAN ETIKA
nilai-nilai
itu merupakan sesuatu yang khusus untuk manusia, dalam kepastiannya sebagai
makhluk berakal yang mencari hakikat dalam dirinya dan wujud yang terbentang di
sekitarnya. Ia menginginkan kebaikan untuk dirinya, juga untuk orang lain,
serta mencari keindahan untuk dinikmati dan untuk mengasah emosi serta
perasaannya.
Jadi
perilaku yang seyogyanya ada adalah perilaku kesenangan inderawi sebagai nilai
tertinggi (ideal) yang mewujudkan kebahagiaan inderawi manusia. Atas dasar
inilah etika itu ditegakkan, karena ia merupakan suatu etika adaptasi terhadap
alam dengan kadar (ukuran) yang dapat memelihara kesehatan jasmani dan rohani
manusia sebagai syarat bagi kebahagiaan. Kesehatan mental bergantung pada
keselamatan dan kesehatan badan. “Jiwa yang sehat terdapat dalam tubuh yang
sehat” (men sana in corpore sano). Kebaikan yang paling ideal manusia tidak
terletak pada perilaku yang tumbuh dari karakter hewaninya. Namun kebaikan
ideal itu ada pada tingkatan yang sesuai dengan kemuliaan manusia sebagai
makhluk yang berpikir dan berkehendak yang tidak dibatasi oleh hukum-hukum alam
inderawi.
Kita
mengetahui bahwa etika merupakan suatu ungkapan tentang: pertama, salah satu sifat atau keadaan jiwa yang tampak pada
perilaku manusia, dimana penilaian kita terhadap manusia tertentu bahwa ia
adalah utama atau tidak utama, baik atau tidak baik, sama dengan penilaian kita
terhadap diri manusia dalm jiwanya
dengan melihat perbuatan-perbuatannya. Oleh karena itu, tidak cukup bahwa
seseorang melakukan perbuatan baik sekali waktu, atau perbuatan tidak baik
sekali waktu, lalu kita menilainya bahwa ia mulia atau tidak mulia, baik atau
jahat. Karena boleh jadi niatnya pada waktu itu bertentangan dengan perilaku
lahirnya. Oleh karena itu, perbuatan etik tidak diukur dengan
fenomena-fenomenanya atau produk-produknya, tetapi diukur dengan kondisi
(keadaan) jiwa yang baik dan utama.
Kedua, meskipun etika merupakan salah
satu sifat jiwa, namun ia tidak bersifat naluriah, dengan alasan bahwa
perbedaan akhlak manusia dalam kebaikan dan keburukan. Kemudian, sifat etis ini mencapai suatu
tempat dalam jiwa seolah ia adalah tabiat
orisinil yang ada padanya.
Ketiga, karena etika (akhlak) merupakan
sesuatu yang diusahakan, maka akal memiliki peran besar dalam mengusahakannya
bukan karakter hewani kita (yang berperan). “Akhlak
(etika) adalah kebaikan atau kejahatan, dimana jiwa manusia diatribusikan
(disifatkan) dengannya, serta terjadi lewat pengusahaan dan kebiasaan, sesuai
dengan standar-standar kebaikan yang dibuat oleh manusia untuk dirinya sebagai
makhluk yang berakal dan berkehendak merdeka.”
v MAKNA
KEBAIKAN DAN KEBURUKAN
Aristoteles
realistis ketika memahami bahwa kebaikan manusia ada pada mencari kebahagiaan (Eudemonia). Kebahagiaan itu akan datang
kepada manusia, jika ia hidup dalam keseimbangan. Dalam pengertian seperti ini,
Aristoteles diikuti Descartes. Namun Madzhab Hedonisme-Materialistik berjalan
pada arah yang berlawanan dengan Madzhab Rasionalisme-Idealis yang dipimpin
oleh Kant. Ia memahami kebaikan dengan makna kesenangan inderawi atau manfaat
esensial.
Para
filsuf Inggris zaman modern yang menganut teori Persepsi-Etik telah memahami
kebaikan manusia sebagai perbuatan yang jatuh dalam sensasi internal, seperti jatuhnya
keindahan. Sensasi etik mengetahui keindahan dan keburukan secara langsung yang
mereka namakan dengan intuisi sensasi
etik. Jadi, kebaikan adalah keindahan utama, sedangkan kejahatan adalah
keburukan tercela, sebagaimana persepsi sensasi etik.Yang perlu diingat adalah
bahwa konsep kebaikan dan keburukan merupakan bagian yang integral dengan
konsep-konsep lain yang dicakup oleh madzhab seorang filsuf tentang pengetahuan
dan wujud (being).
v ETIKA
PRAKTIS DAN ETIKA TEORITIS
filsafat
etika berbicara moral manusia, makna kebaikan dan kejahatan, serta membahas
tentang tujuan-tujuan ideal manusia dalam kapasitasnya sebagai makhluk berakal
yang berkehendak bebas. Namun, para filsuf positivisme tidak menerima masuknya
pembahasan etika ke dalam tema-tema kajian filsafatmya, karena mereka melihat
adalah memungkinkan untuk langsung mengarah pada pengetahuan tentang kebaikan
dan keburukan serta nilai-nilai manusiawi melalui kajian terhadap realitas
perilaku dalam masyarakat tanpa melihat filsafat. Dari situ, kita akan melihat
bahwa setiap bangsa memiliki etika yang berbeda dengan bangsa lain dalam nilai,
tujuan dan pandangannya terhadap karakter manusia, sesuai dengan situasi
kehidupan praktisnya.
Para
filsuf positivisme sangat memperhatikan etika-etika positivistik dalam
kehidupan praktis, seperti yang dipraktekkan manusia dalam bentuk
kewajiban-kewajiban partikular terbatas. Mengikutinya berarti mendapatkan rasa
senang masyarakat dan kebahagiaan individu, sedangkan mengingkarinya
berkonsekuensi pada kemarahan dan permusuhan dengan masyarakat dan akan
membuatnya sengsara. Kewajiban-kewajiban ini berbentuk perintah dan larangan
dengan cara mengerjakan kebaikan dan menjauhi keburukan menurut pengertiannya
masing-masing. Misalnya: “kunjungilah tetangga anda” , ”bantulah orang buta
dijalan raya” , “ jangan ingkari janji” , “jangan berdusta” , “jangan memulai
permusuhan”. Pada saat itu, orang yang mentaatinya menjadi mulia dan yang
mengingkarinya menjadi tercela.
Menurut
mereka, komitmen melaksanakan kewajiban-kewajiban praktis ini terwujud dengan
membiasakan perbuatan-perbuatan etik melalui teladan dan tradisi. Etika juga
berkembang bersama dengan perkembangan masyarakat, dimana hanya
perbuatan-perbuatan etika kuat yang mampu menguatkan kebaikan individu dan sosial
yang akan bertahan, sedangkan yang tidak memiliki kemaslahatan akan mengalami
kehancuran.
Beberapa
karakteristik etika praktis, antara lain:
a. Bahwa ia tidak memberi manusia kemampuan untuk
maju dengan kaidah-kaidah praktis ke arah suatu prinsip umum yang dapat
diterapkan di setiap tempat dan waktu dengan tidak melihat
kemaslahatan-kemaslahatan pribadi dan sosial serta perbedaan-perbedaan kultural
dalam masyarakat.
b. Ia memerlukan suatu pemikiran teoritis yang
memungkinkan seorang individu untuk mengenal hakikat kebaikan tentang apa yang
ia kerjakan dan perbuatan-perbuatan yang akan ia lakukan, juga membantunya
untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan secara tepat, memilih
perbuatan-perbuatannya secara rasional, sehingga kebaikan atau keburukan yang di
lakukannya tidak semata-mata karena kebiasaan atau tradisi.
c. Manakala etika-etika praktis tidak didasarkan
pasa suatu kaidah teoritis dan hanya di dasarkan pada kewajiban-kewajiban
partikular yang di batasi oleh perintah dan larangan tanpa fleksibilitas, maka
ia tidak memiliki cakupan yang luas, melainkan terbatas pada kondisi-kondisi
partikular menjadi tipikalitasnya dan tidak mampu melampauinya.
d. Ia memiliki sifat subyektif manusia
berbeda-beda dalam menerapkan kewajiban-kewajiban praktis dan dalam menafsirkan
sisi etis dari kewajiban-kewajiban praktis tadi. Subyektivitas ini membuat
etika-etika praktis memerlukan satu prinsip rasional umum yang menyatukan
pengertian-pengertian manusia sekitar kebaikan dan keburukan.
e. Ia menggabungkan setiap kewajiban praktis
dengan kewajiban partikular tertentu, atau manfaat yang terbatas bagi individu
dan masyarakat tertentu.
2.3.
SUMBER – SUMBER
PENGETAHUAN TENTANG KEBAIKAN
v ALIRAN
IDEALISME
Tercermin dalam 2
madzhab, yaitu:
1.
Madzhab Intuisionisme.
Para filsuf berpendapat bahwa di dalam akal manusia
terdapat sebagian hakikat rasional yang memiliki sifat sederhana dan jelas,
serta tidak membutuhkan sesuatu untuk
menjelaskannya. Hakikat tersebut merupakan dasar rasional yang paling sederhana
bagi setiap pengetahuan rasional yang menjadi tujuan manusia sekaligus menjadi
dasar argumentasi atas kebenaran pemikiran yang dicapai dengan argumentasi
rasional. Intuisi dalam madzhab ini merupakan suatu pengetahuan rasional dan langsung terhadap kebaikan yang sangat
jelas, atau prinsip etik sebagai prinsip umum yang jelas atau prinsip etik
sebagai prinsip umum yang jelas dan tidak menerima perdebatan.
2.
Madzhab Rasionalisme.
Madzhab ini menilai pengetahuan manusia melalui cara
deduksi rasional dengan mengambil premis- premis utama yang mendahului
pengalaman. Oleh karena itu, madzhab ini tidak sampai pada pengetahuan tentang
kebaikan dalam lapangan etika melalui intuisi rasional. Ada beberapa pendapat
para filsuf, seperti:
a.
Sokrates
Nilai kebaikan manusia kembali pada akal. Karena akal
sebagai satu- satunya sumber pengetahuan yang benar tentang tabiat kebaikan
manusia. Keterkaitan antara pengetahuan dengan kebaikan tampak jelas dalam
ungkapan Sokrates: “Keutamaan adalah ilmu, dan ketercelaan adalah kebodohan”. Dengan pengertian bahwa ketercelaan tidak
tumbuh, kecuali karena tidak mengerti arti keutamaan. Kebahagiaan manusia yang
merupakan kebaikan tertingginya didasarkan pada ketidakmengetiannya tentang
hakikat.
b.
Plato
Kebaikan hakiki berdasarkan pada bentuk ideal yang
berdiri sendiri, yaitu dunia idea. Idea kebaikan melampaui semua ide- ide.
Karena ia adalah kebaikan absolut yang dicari setiap jiwa manusia dalam
kehidupannya. Akal merupakan sumber yang memperkenalkan kita pada kebaikan yang
terdapat pada alam eksistensi dan diri kita. Jiwa utama memiliki 4 karakteristik
utama yang diakui dengan memanfaatkan akal sebagai berikut:
Ø Keutamaan
hikmah merupakan sifat kekuatan intelektual dalam jiwa.
Ø Kekuatan
keberanian, merupakan sifat kekuatan marah dalam jiwa.
Ø Keutamaan
kebajikan, merupakan sifat kekuatan nafsu dalam jiwa.
Ø Keutamaan
keadilan, merupakan sifat jiwa sebagai totalitas. Ia tumbuh karena akal
melakukan harmonisasi antara ketiga kekuatan ini. Dengan memiliki keseimbangan
moral internal, manusia pun menjadi adil terhadap dirinya.
c.
Aristoteles
Beliau membangun sebuah sumber untuk mengetahui dan
memilih perbuatan utama. Akal memiliki keutamaan teoritis, yaitu hikmah. Tetapi
ia baru menjadi hikmh yang bersifat praktis ketika kehendak memilih perbuatan
utama sebagai perilaku praktis. Tujuan dari keutamaan adalah mewujudkan
kebahagiaan spiritual bagi manusia utama.
d.
Descartes
Dengan berpikir deduktif kita bisa membedakan antara
keutamaan hakiki dan keutamaan fenomenal. Keutamaan hakiki lahir dari
pengetahuan hakiki terhadap kebaikan. Sedangkan keutamaan fenomenal adalah
akibat dari ketidaktahuan terhadapnya.
Descartes membatasi
prinsip- prinsip etikanya sebagai berikut:
Ø Akal
dan kehendak adalah sumber perilaku utama.
Ø Akal
mengenal kebenaran secara hakiki, kehendak memilih perbuatan yang baik.
Ø Kebaikan
tertinggi tercermin pada kepuasan dan ketenangan jiwa.Nilai perilaku etika
(moral) intern dalam dirinya dan tidak bersumber luar.
e.
Immanuel Kant
Manusia tersusun dari 2 karakter, yakni inderawi dan
rasional. Dengan karakter inderawi, manusia di alam semesta sama dengan benda-
benda lain yang tunduk pada hukum alam, karena ia berafiliasi kepada alam lain,
yaitu hakikat yang disebutnya “Alam segala sesuatu pada zatnya”.
v ALIRAN
EMPIRISME
· Shopisme
· Hedonisme
· Epicurisme
· Thomas
Hobbes
· Madzhab
Hedonisme menurut Bentham dan Mills
· Kaum
Positivisme dan Evolusionisme
v ORIENTASI
RELIGIUS DALAM ISLAM
a.
Orientasi naqli (scriptural)
Kelompok Abi Al- Jannah wal Jama’ah berpendapat bahwa
syara’ menjelaskan kepada kita yang baik dan yang buruk. Lalu memerintahkan
kita untuk mengerjakan yang pertama dan melarang kita untuk melakukan yang
kedua.
b.
Orientasi aqli
Ini tercermin di kalangan Mu’tazilah dari kelompok
Muta’allimin. Mereka berbeda pendapat dengan ahli kalam di kalangan salafi mengenai
cara pengetahuan terhadap kebaikan dan keburukan serta taklif untuk mengerjakan
yang pertama dan menjauhi yang kedua.
c.
Para filsuf Islam
Kecenderungan para filsuf Islam yang tercermin pada
orientasi etika, seperti juga tercermin pada orientasi- orientasi lain.
Al Ghazali dan Etika:
“Karakter/ sifat manusia tersusun dari 2 hal, yaitu jasad dan jiwa. Jasad
adalah gambaran material fenomenal, sedangkan jiwa merupakan gambaran abstrak
batiniyah”. Dalam mengetahui kebenaran dan kebaikan manusia, ilmu kebenaran
memiliki beberapa tingkatan, yaitu:
Ø Kebanyakan
manusia mengenal kebaikan dan keburukan melalui kitab suci dan mengikuti orang
lain.
Ø Orang-
orang khusus/ para filsuf rasionalis pada umumnya mengenal kebenaran tanpa
melihat pada kitab suci ataupun ikut- ikutan.
Ø Orang
yang paling khusus ( dan ini sedikit sekali), mengenal kebenaran ketika berada
dekat dengan Allah, dimana ia menganugerahkan ilmu ladunni ke dalam hati
seorang Mukmin yang mengenal Allah, maka terjadilah perbuatan baik dari anggota
tubuh secara otomatis dengan menyerupai perbuatan para Nabi dan Rasul.
Al Ghazali telah menghubungkan antara pengetahuan dengan
pola perilaku dalam akhlak manusia, dimana pengetahuan kita tentang kebaikan
saja tidak cukup, sebelum yang bersangkutan mengerjakannya. Ilmu dalam amal
secara bersama- sama harus selaras dengan syara’. Etika sesungguhnya berdiri di
atas dasar pengontrolan nafsu dengan hukum akal, sehingga hati berada dalam
keadaan seimbang. Kaidah penyelarasan ini adalah “ Bekerjalah untuk duniamu seakan
engkau hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan engkau akan mati
esok hari”.
Al- Ghazali mendasarkan
madzhab etikanya di atas dasar- dasar berikut:
Ø Bahwa
tujuan perbuatan etika adalah mewujudkan kebahagiaan spiritual di dunia dan di
akhirat. Oleh karena itu, ia mengambil nilai perbuatan etik itu dari tujuan
ini.
Ø Perbuatan
etik muncul dari keseimbangan antara inderawi dan yang rasional.
Ø Akhlak
tumbuh dari hati dan ia adalah kondisi yang mengakar di dalam jiwa dan perilaku
etik merupakan ekspresi dari akhlak ini.
Ø Dengan
ilmu saja, manusia tidak dapat berbuat keutamaan, namun juga harus dibarengi
dengan kehendak dan aktivitas. Ilmu itu memiliki tingkatan- tingkatan yang
berbeda akibat perbedaan tingkatan manusia. Ilmu yang paling tinggi adalah ilmu
yang muncul dari wahyu langit atau ilmu ladunni pada keadaan dekat dengan
Allah.
2.4.
STANDAR – STANDAR KEBAIKAN
Nilai - nilai manusiawi yang berusaha untuk
direalisasikan oleh manusia dalam perbuatan- perbuatannya yaitu nilai kebenaran, kebaikan dan
keindahan. Kita dalam menilai bahwa
perbuatan ini baik atau buruk dalam perspektif tiga madzhab yang berbeda, yakni
madzhab kebahagiaan (Eudemonia), kesemprnaan (Perfeksionisme), dan kewajiban
(Deontologi).
1.
MADZHAB KEBAHAGIAAN (EUDEMONIA)
Kebahagiaan
dianggap sebagai tujuan tertinggi bagi setiap perilaku etik, dengan pengertian
bahwa perilaku dapat menjadi baik, jika tujuan ini tidak terwujud sehingga
manusia berada dalam pada penderitaan. Standar kebahagiaan menurut penganut hedonism (kyrene) baik klasik
maupun modern berhubungan dengan kesenangan inderawi, atau keuntungan
subyektif. Sepanjang perilaku itu mendatangkan kesenangan inderawi, maka
perilaku tersebut dianggap baik. Sebaliknya jika ia mendatangkan penderitaan
inderawi , maka perilaku tersebut dianggap buruk.
Jika
John S.Mills yang termasuk salah satu pemikir kelompok moralis- empiris
memenangkan kebahagiaan rasioanal, maka yang lebih utama melakukannya adalah
para kaum moralis rasionalis. Mereka berpendapat bahwa standar kebaikan atau
keburukan perilaku adalah standar rasional yang dibuat oleh akal manusiawi dan
merupakan standar consensus diantara manusia yang berperilaku sesuai dengan
tuntutan norma-norma yang seragam. Oleh karena itu, standar kebahagiaan
rasional dicirikan dengan sifat obyektif dan universal. Karena tidak ada
perbedaan diantara manusia mengenai hal itu. Seperti yang kita lihat pada
filsuf- filsuf semisal sokrates, plato
dan aristoteles. Sokrates telah mengubungkan antara pengetahuan mental
dengan satndar kebahagiaan. Sehingga tidak mungkin kebodohan berjalan seiring
dengan kebahagiaan spiritual. Sokrates menghubungkan antara kemuliaan dengan
ilmu pada orang yang bahagia, dan antara ketercelaan dengan kebodohan pada
orang yang sengsara. Adapun plato membangun idea kebahagiaan yaitu idea
kebenaran dan keindahan pada saat yang sama sebagai suatu standar yang
terpisah, atau tegasnya berdiri sendiri didunia idea. Perbuatan dinilai baik
sepanjang ia sejalan dengan apa yang baik dalam dunia idea.
2.
MADZHAB KESEMPURNAAN (PERFEKSIONISME)
Madzhab
etika ini dikenal dengan perspektif teori evolusi sosial dikalangan penganut
teori perkembangan dan kemajuan dalam masyarakat manusia, sebagaimana yang
terjadi pada berbagai spesies hewan sepanjang proses evolusinya sesuai dengan
hukum seleksi alam, yaitu hukum yang menyatakan bahwa yang pantas untuk
bertahan hidup hanyalah jenis hewan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan,
sukses dalam menghadapi pertentangan yang terus menerus diantara mereka. Serta
mampu menanggung pengaruh-pengaruh alam. Untuk merealisasikan proses adaptasi
yang terus menerus terhadap situasi-situasi yang melingkupinya dan mengatur
karakter perilakunya hewan – hewan itu mengambil aturan yang bertujuan kearah
kesempurnaan fungsi- fungsi vital dan gaya adaptasinya.
Herbert
spencer telah meminta bantuan teori evolusi sesuai dengan hukum seleksi alam
dalam manfsirkan perkembangan sosial dan etika dalam masyarakat manusia. Ia
berpendapat bahwa pengalaman memperlihatkan dengan perilakunya, manusia
berusaha untuk merealisasikan kesenangan inderawinya sebagai ungkapan perasaan
terhadap egoisme dan sebagai wujud adaptasi terhadap lingkungan. standarnya
adalah pencapaian kesenangan inderawi dan perasaan terhadap kebahagiaan,
sedangkan rasa sakit dan sengsara menunjukan buruknya adaptasi. Spancer
mengharapkan masyarakat manusia berkembang ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu
kesempurnaan. Dengan sampainya masyarakat pada perkembangan dan kemajuan dalam
tingkatan kesempurnaan moral ini, akan muncul apa yang disebut masyarakat kota
utama, dimana semua orang hidup didalamnya dengan kesenangan abadi.
Para
penyeru psikologi eksperimentalis melihat bahwa standar kebaikan dalam perilaku
moral manusia adalah integrasi personal yakni pertumbuhan beragam kemampuan
secara berimbang yang mewujudkan perasaan bahagia untuknya, sedangkan
ketidaksempurnaan kemampuan – kemampuan ini akan mengakibatkan terjadinya
pertarungan psikis yang menciptakan perasaan menderita dan sengsara pada
individu. Oleh karena itu, perilaku baik dan buruk adalah manifestasi perasaan
bahagia dalam personalitas yang sempurna atau peraaan menderita didalam
personalitas yang tidak sempurna.
3.
MADZHAB KEWAJIBAN (DEONTOLOGI)
Kant
melihat bahwa perbuatan moral membawa nilainya di dalam milieunya. Ia muncul
dari kehendak baik yang merupakan realisasi kewajiban dalam dirinya, serta
bukan untuk tujuan apapun. Untuk itu
standar perilaku yang baik menjadi sejauh mana kesamaannya terhadap prinsip
kewajiban karena kewajiban. Standar ini dibedakan dengan sifat – sifat sebagai
berikut :
a.
Universal : adalah undang undang yang
berlaku umum bagi siapapun tanpa terkecuali
b.
Obyektif : karena menjadikan kemanusiaan
sebagai obyek satu satunya bagi semua akal manusia
c.
Abstrak : prinsip rasional yang dibuat oleh akal manusia yang
menghadirkan sebuah norma dikalangan manusia seluruhnya.
Standar
kebaikan dan keburukan perbuatan – perbuatan moral secara logis terkait dengan
sumber pengetahuan kebaikan dan keburukan . jika standarnya adalah akal maka ia
bersifat rasional dan jika standarnya adalah sensasi serta pengalaman maka ia
bersifat sensasional eksperimental. Ini berarti madzhab etika menurut kalangan
filsuf merupakan satu kesatuan integral dengan teori teori tentang pengetahuan
(epistemology) dan wujud (ontology).
2.5.SUMBER – SUMBER KEKUATAN MORAL
Sumber
sumber moral terbagi kepada sumber sumber internal (yang terdapat dalam diri
manusia) dan eksternal ( yang terdapat di luar dirinya) di antara sumber sumber
internal yang memaksa manusia untuk melakukan kebaikan atau keburukan adalah
hati dalam kapasitasnya sebagai kekuatan rasio dan emosional. Di antara sumber
sumber eksternal adalah masyarakat dengan segala adat, tradisi, hukum kekuasaan
politik, agama yang ada di dalamnya.
1. Hati memiliki fungsi
sebagai berikut :
·
Menilai benar salahnya suatu perilaku
sehingga perilaku itu di katakan baik atau buruk
·
Mengarahkan perilaku kita ke depan
sehingga kita memperoleh kesenangan hati dan menghindari kebencian
Fungsi fungsi karakter
hati tersusun dari hal hal berikut :
a.
Sisi Intelegensia
Hati
dapat membedakan apa yang baik dan apa yang buruk. Kaum Intuisionisme
berpendapat bahwa kesadaran ini tidak lain kecuali kesadaran intelektual yang
langsung terhadap makna kebaikan dan keburukan yang tampak jelas pada perbuatan
- perbuatan manusia. Pendapat ini menyatakan bahwa hati merupakan suatu
kekuatan primordial yang mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan. Kaum
Positivisme dan empirisme berpendapat bahwa sisi ini dapat di lihat dari
pembuktian makna kebaikan dan keburukan.
b.
Sisi Emosional
hati
bukanlah sekedar kekuatan yang menyadari kebaikan dan keburukan serta
membedakan keduanya sesungguhnya merupakan suatu kekuatan di daktik karena
balasan yang diharapkan serta mengawasi perbuatan perbuatan manusia dari dalam
untuk mengetahui niatnya sebelum berbuat.
c.
Sisi Sosial
Sisi
ini di anggap sebagai cermin sosial yang merefleksikan konsep konsep kebaikan
dan keburukan keutamaan dan ketercelaan kebahagian dan kesengseraan dalam
masyarakat di mana individu hidup. Jadi fungsi hati terbatas sebagai sumber
bagi tekanan moral bertitik tolak dari sisi intelek hukum - hukum moral (etika)
dengan karakter primordial yang ada padanya. Individu bertanggung jawab di hadapan hati dalam
kapasitas sebagai hakim yang menentukan tingkat tanggung jawab ini dalam 3
dasar :
- Kemampuan untuk
mempersepsi kebaikan dan keburukan
- Terpenuhnya kebebasan
kehendak dalam memilih perbuatan
- Kemampuan dalam
melakuka pekerjaan
2. Masyarakat.
Kaum
Sosiologi melihat bahwa hukum hukum moral ( etika ) telah di ciptakan oleh
masyarakat dengan mengambil inspirasi pengalaman histiris dan realitas
sosiologisnya. Ketika masyarakat menciptakan norma norma - moral ia menjadikan
keuntungan individu dan kemaslahatan kolektif sebagai tujuan etik tertinggi
atau sebagai kebaikan ideal yang setiap individu berusaha untuk mewujudkan.
Dalam pandangan masyarakat tanggung jawab individu tertentu pada dasar dasar
sebagai berikut :
-
Hasil hasil dari segi ia bermanfaat atau
berbahaya
-
Terpenuhnya persepsi sehat tentang suatu
entitas , apakah ia baik atau buruk.
-
Terpenuhnya kadar kebebasan untuk
berbuat dalam batas batas konsepsi kebaikan dan kebaikan.
3.Agama.
Keagamaan merupakan sumber tekanan terhadap
perilaku moral yaitu tekanan yang mengambil kekuatan dari balasan balasan yang
terbatas bagi perbuatan baik atau buruk , di mana pelaku kebaikan mendapatkan
balasanya berupa kebahagian di dunia dan di akhirat dan pelaku kejahatan
mendapat balasan siksa di dunia dan di akhirat. Penekanan etika yang muncul
dari agama di dasarkan pada dasar dasar sebagai berikut:
-
Terpenuhnya niat dengan anggapan bahwa
ia merupakan asas utama yang menentukan baik buruknya suatu perilak.
-
Persepsi ( pikiran ) yang sehat sehingga
karena itu agama melarang untuk merusaknya dengan mengkonsumsi minuman keras
dan obat terlarang yang dapat mengakibatkan pelakunya berbuat di luar
kesadaranya dan perbuatanya tidak dapat di tanggung jawabkan.
-
Ukuran kebebasan dalam memilih dan
melakukan perbuatan tersebut sesuai dengan niat dan ukuran persepsi di atas
Ketiga
dasar di atas merupakan pilar pilar tanggung jawab moral ( etika ) dalam
lingkup agama. Filsafat etika merupakan bentuk sempurna yang menghubungkan
antara teori pengetahuan ( epistemologi) teori wujud (ontologi ) dan teori
kebaikan.